Selasa, 16 Desember 2008

The belief of "Heaven" in Islam

Heaven is also known as Paradise. It goes by the Islamic name of Jannah. There are many levels of Paradise depending on how righteous a person is on Earth. The highest level that all Muslims are encouraged to ask for is Jannatul Firdaus.

Like with other aspects of the unseen, Muslims are obligated to believe in Heaven in order to complete their faith.

The bounties and beauty of Heaven are immense, so much so that it is beyond abilities of mankind’s worldly mind to comprehend.


However, Allah, in his Mercy, has given us descriptions of what Heaven is like as an incentive for us to strive to please Him and earn His ultimate reward – which is a place in Heaven.

  • Forever – Paradise is forever. Once a Muslim reaches Paradise, he will not want to be anywhere else and he will live there for eternity.

  • Wealth – there will be an abundance of wealth and beauty in Paradise. Allah says in the Quran, Surah Al Kahf, verse 31: “For them will be Gardens of eternity; beneath them rivers will flow; they will be adorned therein with bracelets of gold, and they will wear green garments of fine silk and heavy brocade. They will recline therein on raised thrones. How good [is] the recompense! How beautiful a couch [is there] to recline on!”

  • Eligibility – whoever has worshipped no one but Allah is qualified to enter Heaven. This includes the followers of past prophets such as Noah, Abraham, Moses, Jesus, etc who adhered to their true teachings and worshipped Allah without partners. However, according to Islamic teachings, the followers of Muhammad (may Allah’s peace and blessings be upon him) will be more abundant in Heaven than those of other prophets.

  • The unknown – what bounties of Paradise cannot be comprehended when compared to worldly riches. Allah has told us many things about Paradise, but in a narration in Saheeh Muslim, the Prophet said: “Never mind what Allah has told you; what He has not told you is even greater.”
From : HilalPlaza.com
Baca lebih lanjut......

How to Quit Smoking

I, finally and officially, Quit Smoking and today is the seventh day. 21 March 2008 was the starting day.

It’s been a long while that the intention and willingness to call it a day emerged. What I need was a momentum to start afresh the whole thing. Includng to begin leaving the “chain-smoker” label behind.

And when the moment came, I took it with both hand. Now, it’s the seventh day I live without any cigarette smokes filling my lung. Some friends amazed, surprised and shocked. But it’s just natural to go from one extreme to another if you’re determined to do so. Nothing is impossible.


So, to quit smoking is simple insofar as I am concerned. First, you got to have a serious intention and willingness to change a particular habit. Second, pick the most important moment of your lives to start with e.g. the birth of your most awaited son, your birthday, etc. Third, be consistent. Never try to fool your self by “Hey, it’s ok to try just once a day.” When you decide to stop smoking, it means stop it altogether never try it even once. Period.


Baca lebih lanjut......

Anak Kecil dengan Sepohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang
senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang
memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di
keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon
apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak
lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia
mendatangi pohon apel.

Wajahnya tampak sedih.

“Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu.
“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi.” jawab anak
lelaki itu.
“Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”
Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… tetapi kau
boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan
uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di
pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak
pernah datang lagi.

Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang
melihatnya datang.

“Ayo bermain-main denganku lagi.” kata pohon apel.
“Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat
tinggal. Maukah kau menolongku?”
“Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan
rantingku untuk membangun rumahmu.” kata pohon apel.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu
dan pergi dengan gembira.

Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi
anak lelaki itu tak pernah kembali lagi.

Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa
sangat bersuka cita menyambutnya.

“Ayo bermain-main lagi denganku.” kata pohon apel..
“Aku sedih,” kata anak lelaki itu.
“Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan
berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”
“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan
menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan
bersenang-senanglah .”

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal
yang diidamkannya. ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang
menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.

“Maaf anakku,” kata pohon apel itu.
“Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.”
“Tak apa.. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu.”
Jawab anak lelaki itu.
“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat.” Kata pohon
apel.
“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu.” jawab anak lelaki itu.
“Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu.
Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini.” Kata
pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang.” kata anak lelaki.
“Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah
sekian lama meninggalkanmu.”
“Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat
terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di
pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu
sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita.
Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang
ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.
Tak peduli apapun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan
apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.
Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar
pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Sebarkan cerita ini untuk mencerahkan lebih banyak rekan. Dan, yang
terpenting: cintailah orang tua kita.

Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan
berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada
kita.

--
salam

Baca lebih lanjut......